Apa yang membuat PPM Darul Hikmah istimewa? Bukan karena kemampuan santri-santrinya yang di atas rata-rata. Bukan karena pengetahuan keIslaman mereka yang luar biasa. Kalau mengharapkan hal-hal seperti itu, rasanya akan kecewa jika Anda melihat institusi yang menyebut dirinya Pondok Pesantren Mahasiswa ini.
Saya juga awalnya
agak heran dengan sistem di Pondok Pesantren ini. Nyatanya, proses belajar
mengajar yang selama ini dijalankan terkesan ‘apa adanya’ dengan segala makna
yang terkandung dalam frasa ‘apa adanya’ itu. Jika mengharap suasana Pesantren
yang santri-santrinya selalu sibuk mengkaji ilmu, maka di DH tidak atau akan
sulit ditemui saat-saat seperti itu.
Tapi ada satu hal
yang kemudian membuat saya bangga berada di tengah-tengah komunitas santri ‘aneh’
ini. Dan rasa-rasanya akan sulit saya temui di tempat lain. Yaitu Ukhuwwah.
Bahkan Ustadz Tri
sendiri pun menyatakan hal yang serupa. Bukan ilmu yang kita punya di sini,
walaupun sebenarnya itulah yang diharapkan bagi para santri. Tapi karena
dengan segala keterbatasan yang dimiliki, kita upayakan untuk memaksimalkan
harmonisasi antar santri agar ada yang pantas untuk dikenang suatu saat ketika
kita sudah tidak ada di tempat ini lagi.
Dan kami memulainya
dengan program-program bersama yang dijalani selama ini. Mulai dari memasak
bersama, bersih-bersih bersama, dan… rihlah bersama. Rihlah pertama hanya
diikuti beberapa santriwati angkatan 2011 dengan tujuan kediaman Diah. Rihlah
kedua ini, sebenarnya semua berharap agar dapat ikut meramaikan, tapi karena
berbagai kondisi tidak memungkinkan maka harus tetap ada yang tertinggal di
asrama dan jadilah pasukan santriwati DH berangkat dengan menunggangi kuda
besi.
Awalnya saya sendiri
juga berat untuk ikut agenda ini. Kondisi badan saya yang masih sangat lelah
karena memang belum beristirahat total setelah safar ke Jogja, dan beberapa
personel yang gagal turut serta membuat saya makin aras-arasen untuk ikut. Tapi
saya sendiri tidak punya alasan apa-apa untuk mengundurkan diri dari agenda
tersebut. Jadilah saya ikut dengan berpindah-pindah pembonceng.

The next destination
adalah rumah Hilya di 21 Metro tepatnya di (ex) Pondok Pesantren Wahdatul
Ummah. Yang datang menyusul di sini adalah mbak Deny. Setelah sholat dzuhur dan
makan, barulah terjadi consensus tak terduga yang merubah rencana rihlah hari
itu; berkunjung ke rumah saya.
Berbekal keinginan
kuat untuk melihat budidaya jamur milik bapak, teman-teman pun sepakat untuk
memutar haluan perjalanan melewati Pekalongan Lampung Timur menuju rumahku di
Seputih Raman Lampung Tengah. Perjalanan yang saya prediksi hanya setengah jam
sempat terhambat karena lambatnya laju motor dan harus muter-muter untuk mampir
bertemu dengan orang tua mbak Deny demi ‘menyelamatkan’ dia. Jadilah satu jam
kami habiskan di jalan. Tapi Alhamdulillah, saya senang ketika melihat
teman-teman begitu heboh melihat kebun jamur di sebelah rumah. Mereka seperti
mendapat tambahan tenaga setelah lelah berkendara.
Ba’da sholat asar,
sedianya kami menuju rumah mbak Dewi di Untoro. Maka segera kami melaju
kendaraan setelah sebelumnya mengganti ban motor Anis yang sudah miris
kondisinya. Berharap dapat segera sampai, ternyata pengalaman berkendara
menjadi kendala. Jalan Kotagajah-Punggur yang luar biasa membuat perjalanan
pulang ini menjadi sangat panjang. Dan akhirnya di Punggur kami tertahan cukup
lama karena hujan mengguyur dengan bebasnya. Setelah bermusyawarah lagi, kami
memutuskan untuk nekat menembus hujan agar tak terlalu malam sampai Metro. Tapi
lagi-lagi, ternyata insiden saling mendahului dan meninggalkan terjadi sehingga
seringkali kami saling kehilangan jejak.
Maka, di pintu
gerbang Metro kami berdiskusi kembali. Jam sudah menunjukkan 17.30 dan kami
yakin tidak akan bisa sampai tepat waktu di Asrama jika tetap ingin ke rumah
Mbak Dewi. Maka dengan sangat terpaksa niatan bersilaturahim ke sana tertunda
untuk sementara. Dan kami pulang ke asrama dengan kesepakatan menjama’ sholat
maghrib dengan ‘isya karena kondisi badan yang sudah basah.
Ada banyak yang
perlu dievaluasi dari perjalanan kemarin. Salah satunya karena tidak adanya mas’ul
perjalanan sehingga kita kebingungan ketika bermusyawarah. Kondisi kendaraan
yang tidak diperiksa terlebih dahulu sebelum berangkat, dll. Tapi setidaknya
yang bisa saya ingat adalah, kita menjadi lebih mengenal sedikit tentang
karakter saudara kita dalam rihlah ini. Semoga ini bisa menjadi ingatan kita di
masa depan.
Post a comment